Isuterkini.com | Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengambil langkah untuk memanggil Heru Pambudi, yang menjabat sebagai Direktur Jenderal Bea dan Cukai pada tahun 2015, untuk memberikan keterangan terkait dugaan korupsi dalam pengadaan 16 kapal patroli cepat yang berlangsung di Ditjen Bea Cukai dengan anggaran dari tahun 2013 hingga 2015.
Heru akan diperiksa sebagai saksi dalam kasus ini. “Hari ini, Selasa (01/10/24), KPK telah menjadwalkan pemeriksaan saksi dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi terkait pengadaan Kapal Patroli Cepat (Fast Patrol Boat/FPB) pada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dengan anggaran tahun 2013 sampai 2015,” jelas Tessa Mahardhika, Juru Bicara KPK, kepada wartawan pada hari yang sama.
Tessa juga menyampaikan bahwa selain Heru Pambudi, ada satu saksi lain yang dipanggil, yaitu Agung Kuswandono, yang menjabat sebagai Direktur Jenderal Bea dan Cukai dari tahun 2011 hingga 2015. Pemeriksaan terhadap kedua saksi tersebut akan dilaksanakan di Gedung Merah Putih KPK yang terletak di Jakarta Selatan.
Sebagai informasi tambahan, KPK telah menetapkan tiga tersangka dalam kasus dugaan korupsi ini. Ketiga tersangka tersebut adalah Prahastanto (IPR), yang menjabat sebagai Pejabat Pembuat Komitmen, Heru Sunarwanto (HSU) sebagai Ketua Panitia Lelang, dan Amir Gunawan (AMG), yang merupakan Direktur Utama PT Daya Radar Utama (DRU).
“Dugaan kerugian negara dalam perkara ini mencapai Rp 117.736.941.127,” ungkap Saut Situmorang, yang saat itu menjabat sebagai Wakil Ketua KPK, dalam konferensi pers yang diadakan di gedung KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, pada Selasa (21/05/2019).
Kasus yang melibatkan Ditjen Bea Cukai ini berawal pada tahun 2012, ketika Sekretaris Jenderal Bea Cukai mengajukan permohonan untuk mendapatkan persetujuan kontrak tahun jamak kepada Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan. Permohonan ini berkaitan dengan pengadaan 16 kapal patroli cepat dengan berbagai jenis, yaitu FCB 28 m, 38 m, dan 60 m.
Ditjen Bea Cukai kemudian mendapatkan alokasi anggaran tahun jamak untuk pengadaan kapal senilai Rp 1,12 triliun. Saut Situmorang menambahkan bahwa dalam proses pelelangan terbatas, IPR diduga telah melakukan tindakan untuk menentukan perusahaan mana saja yang akan dipanggil dalam proses tersebut.
Prahastanto dikatakan telah mengarahkan panitia lelang agar tidak memilih perusahaan tertentu yang seharusnya berhak. “Ada dugaan pelanggaran hukum yang terjadi baik dalam proses pengadaan hingga pelaksanaan,” ujarnya.
Setelah dilakukan uji coba kecepatan, ternyata 16 kapal tersebut tidak dapat mencapai kecepatan yang sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Meskipun kapal-kapal ini tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan, Ditjen Bea Cukai tetap menerima dan melakukan pembayaran.
Dari total 16 kapal tersebut, 9 di antaranya dikerjakan oleh PT Daya Radar Utama. Selama proses pengadaan, IPR diduga menerima EUR 7 ribu sebagai agen penjualan mesin yang digunakan pada 16 kapal tersebut.
“Diduga kerugian keuangan negara dari pengadaan kapal ini mencapai sekitar Rp 117,7 miliar,” jelas Saut. Dalam konteks ini, dia menekankan pentingnya mencari solusi terbaik untuk masalah ini, mengingat dampak jangka panjang yang akan dirasakan.
“Kami ingin agar kejadian ini menghasilkan yang terbaik, karena proyek ini akan berjalan selama lima tahun, yang merupakan waktu yang cukup lama,” tutupnya.(it)