Isuterkini.com | Kejaksaan Agung (Kejagung) ungkap keterlibatan Hendry Lie, yang dikenal sebagai bos Sriwijaya Air, dalam sebuah kasus korupsi yang berkaitan dengan tata niaga timah di wilayah IUP PT Timah Tbk pada periode 2015 hingga 2022.
Dalam proses penyelidikan, terungkap bahwa Hendry Lie berperan penting dalam skema yang merugikan negara melalui kegiatan penambangan timah ilegal. Abdul Qohar, selaku Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus, memberikan penjelasan bahwa Hendry Lie tercatat sebagai beneficial owner di PT Tinindo Inter Nusa (PT TIN), sebuah perusahaan yang memiliki peran strategis dalam kerja sama dengan PT Timah TBK terkait penyewaan peralatan peleburan timah.
Qohar menambahkan bahwa Hendry Lie dengan sengaja terlibat dalam kesepakatan antara PT Timah dan PT TIN, yang termasuk di dalamnya adalah penyewaan fasilitas pemrosesan bijih timah. PT TIN diduga bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan yang dibentuk untuk tujuan menerima bijih timah yang berasal dari penambangan ilegal, seperti CV BPR dan CV SFS. Selain itu, Qohar mengungkapkan bahwa Hendry Lie turut bekerja sama dengan adiknya, Fandi Lie, dalam mengelola bisnis timah ilegal itu.
Kerja sama ini berlangsung dalam bentuk pengolahan hasil penambangan timah yang tidak sah. Dengan adanya cukup bukti, Kejaksaan Agung kemudian menetapkan keduanya sebagai tersangka dalam kasus ini. Dan pada Senin malam, Hendry Lie ditangkap setelah kembali dari Singapura dan tiba di Bandara Soekarno-Hatta. Ia langsung dibawa untuk menjalani pemeriksaan pertama sebagai tersangka, dan demi kelancaran proses hukum, Hendry Lie langsung ditahan di Rumah Tahanan Salemba cabang Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan.
Dalam penyidikan lebih lanjut, Kejagung telah menetapkan 23 orang sebagai tersangka dalam kasus korupsi yang melibatkan tata niaga timah ini. Beberapa di antaranya termasuk Mochtar Riza Pahlevi Tabrani, yang menjabat sebagai Direktur Utama PT Timah pada periode 2016 hingga 2021, serta Harvey Moeis, yang diduga berperan sebagai perpanjangan tangan dari PT Refined Bangka Tin.
Berdasarkan hasil audit dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Kejagung mengungkapkan bahwa kerugian negara yang diakibatkan oleh kasus ini diperkirakan mencapai lebih dari Rp300 triliun.
Rincian kerugian tersebut meliputi pembayaran berlebih untuk sewa smelter yang mencapai Rp2,85 triliun, pembelian bijih timah ilegal dari mitra yang berjumlah Rp26,649 triliun, serta kerusakan ekologis akibat kegiatan penambangan yang diperkirakan menelan biaya Rp271,6 triliun. (it)